REVIEW FILM - BLOODSHOT (Action,West)

 Kali ini kami dari review film top ingin mereview sebuah film yang berjudul Bloodshot.



Vin Diesel merupakan salah satu aktor paling membosankan. Bukan cuma akting dan pilihan peran, dandanannya pun selalu tipikal. Hanya beberapa menit setelah membuka film dengan atribut tentara lengkap, Diesel langsung menanggalkannya, untuk lagi-lagi memperlihatkan singlet putih kegemarannya, yang tak kuasa menutupi otot-otot besarnya. Merupakan kewajaran jika di beberapa titik, anda lupa bahwa Bloodshot adalah satu lagi adaptasi komik pahlawan super.


Diesel memerankan Ray Garrison, seorang tentara yang hidupnya berakhir tragis. Sang istri, Gina (Talulah Riley) tewas di depan matanya. Ray sendiri dibunuh oleh orang yang sama tidak lama kemudian. Anehnya, Ray hidup kembali. Dia terbangun di laboratorium milik Dr. Emil Harting (Guy Pearce) tanpa satu pun memori tertinggal. Rupanya, jasad Ray disumbangkan oleh Angkatan bersenjata Amerika Serikat guna dijadikan bahan eksperimen nanoteknologi.


Berkatnya, Ray punya kemampuan penyembuhan super cepat terhadap luka. Singkatnya, dia (nyaris) tidak bisa mati. Efek lainnya adalah peningkatan kekuatan fisik yang jauh di atas manusia normal. Hingga akhirnya ingatan Ray kembali, menjadikannya mesin pembunuh yang digerakkan oleh satu tujuan: balas dendam. Tapi kisah Bloodshot tidak sesederhana itu. Dalam satu lagi tuturan berisi subteks “kemerdekaan diri” yang acap kali dipakai film berpremis serupa, Jeff Wadlow (Kick-Ass 2. Fantasy Island) dan Eric Heisserer (Arrival, Bird Box) selaku penulis naskah, melempar kejutan di akhir first act yang sepenuhnya mengubah arah cerita.


Kejutan yang harus diakui cukup pintar, khususnya mengingat Bloodshot merupakan “film-superhero-Vin-Diesel”. Pintar, karena twist tersebut mampu mengecoh tanpa menipu, dan secara meyakinkan menggiring persepsi penonton. Bukan kecurangan, sebab sejak menit awal, kita melihat semuanya lewat kacamata Ray. Kita tidak lebih tahu dari sang protagonis. Mudah pula menerima kemustahilan di baliknya, sebab Bloodshot secara jelas menegaskan statusnya sebagai suguhan fiksi-ilmiah yang mengedepankan penggunaan berbagai teknologi canggih.


Sayangnya tidak semua teknologi itu berhasil dimanfaatkan. Banyak potensi alat/senjata terbuang percuma akibat lemahnya sutradara debutan David S. F. Wilson mengarahkan adegan aksi. Sebagai film penuh kecanggihan, deretan aksi Bloodshot tampak medioker dan miskin kreativitas. Apalagi rating PG-13 miliknya menghalangi pemaksimalan premis tentang jagoan yang tidak bisa mati. Filmnya butuh lebih banyak momen seperti saat wajah Ray remuk dihantam peluru. ‘Bloodshot’ needs more blood.


Penyuntingan kilat yang memudarkan koreografi, gerak lambat membosankan yang memudarkan intensitas, sampai klimaks penuh pemaksaan eksploitas CGI buruk sekelas video game, membuat Bloodshot bahkan tidak cukup menyenangkan sebagai film popcorn sekali tonton. Dan sewaktu ketangguhan Eiza González sebagai prajurit wanita bernama KT gagal dieksplorasi, sementara Vin Diesel hanya meyakinkan kala memperdengarkan suara dan ekspresi "gahar" sedangkan permainan emosi lainnya tampak menggelikan, semakin sedikit pula alasan meluangkan waktu demi film ini.

Comments

Popular posts from this blog

REVIEW FILM - THE OLD GUARD (West,Action)